Mengenal manusia tak bisa hanya secara eksplisit melainkan harus intensif dan inklusif. Manusia itu dibicarakan oleh banyak manusia lainnya bahwa ia dilahirkan dengan kepribadian yang unik. Memiliki banyak pola-pola yang menjadikan dirinya dan sehingga harus diakui (Eksistensi) oleh manusia itu sendiri.
Berjuta
tahun mundur dari era yang saat ini hadir. Ketika diera zaman kegelapan, atau
kalau suku-suku Yudisme mengenalnya sebagai zaman kapak merah (Karen Armstrong:
1993) tertuang dikarya Sejarah Tuhan. Bapak dan Ibu manusia ialah Adam dan Hawa.
Banyak sudut pandang bagaimana ia diciptakan dalam versi kitab-kitab agama
khususnya Islam, Kristen Dan Yahudi.
Penulis
lebih mencoba untuk mengenali dasar hakikat manusia itu sendiri. Bukan bermaksud
membahas hal ia dalam pandangan teologi. Manusia dalam fase modern, lebih
banyak disungguhi oleh kehebatan-kehebatan ciptaan tangan manusia itu sendiri
alias fana/ilusi. Manusia tergolong kaum yang dapat dikatakan Intelektual,
karena ia ketika seumuran 5 tahun sampai beranjak dewasa mengecap dunia
pendidikan.
Karena
hadirnya dunia pendidikan ini lebih mengesensikan manusia itu untuk memahami
sikap, pola perilaku, dan perasaan dalam keadaan yang sewajarnya dalam hal
logika dan kasat mata itu dinamakan dengan norma.
Menelisik
kekinian norma itu seakan hanya hadir didalam sebuah ruang dan waktu. Karna sifat
ini tidak selamanya tampil untuk membela atau melindungi nilai. Ada kemungkinan
suatu norma menyembunyikan atau mengaburkan nilai yang sebenarnya mau
dipelihara atau dilindungi. Kalau itu terjadi maka suatu norma bukan lagi
berperan mendekatkan nilai kepada orang atau sebaliknya, semakin menjauhkan
orang dari nilai. (Antonius Atosokhi Gea, Relasi
Dengan Sesama, cetakan keempat 2006, Hal: 155). Ini berarti ada hal yang
salah, baik sang manusia itu sendiri atau lingkungan yang akhirnya membuat
hakekat norma itu terdegradasi.
Ini
pun senada dengan pemikiran Soe Hok Gie dalam sub judul Pelacuran Inteletual
dalam suasana di-Eranya yang menyatakan bahwa memberikan penilaian terhadap
sikap seseorang bukanlah soal yang sederhana. Karena dunia bukanlah hitam dan
putih. Setiap tindakan mempunyai motif-motif yang bersumber pada pandangan
hidup seseorang. Di dalam masyarakat, kita melihat ada dua sistem penilaian
yang secara teoritis berbeda seratus delapan puluh derajat. Pertama, adalah mereka yang mempergunakan
sistem nilai-nilai absolut. Tetapi ada kelompok yang tidak memakai sistem nilai
ini. Mereka mempergunakan sistem nilai-nilai relatif. (Rudy Badil, Luki
Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, Soe
Hok Gie Sekali Lagi, 2009, Hal: 444-447).
Jadi,
untuk mengkritisi hakekat manusia tersebut paramater penilaian ada di tingkat
norma. Karena harfiahnya bersifat untuk mengkontrol. Lalu kita pun sebagai
manusia tersebut pun harus memiliki metode dengan melakukan; 1. Kritis terhadap
norma, 2. Membuat dan memberlakukan norma yang baik. (Opcit, Hal: 156-161).
0 komentar:
Posting Komentar